.

Selasa, 11 Desember 2012

Kisah Klasik untuk Masa Depan

Diposting oleh Tri Utari di 17.28 0 komentar


               Kali ini aku mau cerita seputar pengalamanku selama Kursus Brevet A yang diadakan Universitas Gunadarma tanggal 26 – 30 November. Walaupun penuh dengan perjuangan karena setiap hari harus bangun pukul 4 pagi, menempuh perjalanan dari Tangerang – Depok tapi jujur ini pengalaman yang berharga dan bias dijadikan Kisah Klasik Untuk Masa Depan J). Aku cerita mulai dari hari Senin sampai Jum’at tapi seputar perjalannya aja ya, soalnya kalau sama materi kursusnya kepanjangan, hehehe..
Senin
               Hari pertama ini aku berangkat ke Depok bareng sahabat kecilku Cintia Leliana yang kebetulan juga rumahnya berdekatan denganku, dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan kami tempuh selama 2jam lebih karena macet. Waww.. pegelnya luar biasa tapi buat sahabatku Leli perjalanan seperti itu tidak membuat kaget lagi karena kuliah dia kebetulan juga di Universitas Gunadarma Depok memang wanita yang super, ckckck..
               Tepatnya pukul 12 siang handphoneku berbunyi pertanda ada sms, pas dibuka ternyata dari Leli yang isinya “ut, guw pulang duluan ya soalnya guw gk ada kuliah lagi, dosennya gk masuk, guw bingung kalau nungguin lu dmn, malah masih lama” jleeebbbb.. puceeett.. guw pulang ama siapa????
               Akhirnya aku pulang sendirian naik kereta bareng Imel dan Imelda Okta. Tapi tiba – tiba si Leli jemput di stasiun Tangerang.. hufftt.. Alhamdulillah.. seandainya Leli gk jemput pasti harus naik angkot dua kali lagi, dan nyampe rumah pasti malem.. Terima kasih Leli ^^
Selasa   
               Yap.. hari ini sampai jum’at aku memutuskan untuk naik kereta aja walaupun dengan biaya ang cukup menguras kantong karena bolak balik Tangerang Depok totalnya Rp 31ribu, lumayan kan.. tapi mau gimana lagi soalnya Leli jadwal kuliahnya lagi banyak yang kosong menjelang UTS. Berangkatnya aku menuju stasiun Juanda naik Busway dan sampai disana sudah ada Nita dan Ria J)
               Hahaha… Pulangnya nih yang seru.. naik keretanya sih fine – fine aja tapi pas nunggu busway dari Juanda ke Kalideres gk da, sudah nunggu 2jam padahal.. Udah Capek, Laper, Haus, Lemes pokonya lengkap yang jelek – jelek. Akhirnya aku dan Nita memutuskan untuk ke Halte Harmoni, sesampainya disana antrian kalau bisa diukur 3 meter ada kali, udah mana gk maju – maju, rasanya udah pengen nangis aja deh, pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul 8 malam *jam segini kemarin malem aku udh ongkang – ongkang kaki dirumah, ckck.. Kita memutuskan lagi untuk naik kopaja dari harmoni sampai Mall ciputra, eh ada pengamen lagunya bikin galau tambah lemmeess aja deh..
               Dari Mall Ciputra sampai kalideres naik kopaja lagi, masya allah.. ni sopir ngendarain bis beneran pa bis boongin si, seenak-enaknya aja, ngerem gk kira – kira mana macet. Udah perut kosong, haus, Capek, alhasil perut kayak dikocok – kocok, liat sebelah si Nita bias – bisanya tidur, sementara aku sibuk menahan isi perut yang terakhir yang mau keluar, udah gk tahan lagi akhirnya keluar juga *muntah deh
Rabu
               Tidak mau mengulang peristiwa kemarin lagi, mamah menyuruhku naik kereta dari stasiun Tangerang aja yang deket, biarpun mahal tapi tidak mengapa kata mamah, ckckck..
Oke hari ini berjalan seperti yang diharapkan, tapi disepanjang jalan di bully habis- habisan sama Imel dan Imelda okta. Huftt.. nasib.. nasib..
Kamis
               Pada malam harinya Vinda mengajak aku naik motor bareng Elly Kurniawan.. Alhamdulillah.. bisa ngirit.. akhirnya keesokan harinya aku bareng Elly Kurniawan naik motor.
               Pulang Kursus hari ini agak cepat mungkin materinya juga sudah habis dan besok tinggal ujiannya. Tapi Depok diguyur hujan lebat, dan kami memutuskan untuk meneduh sejenak dulu, Hujannya ko gak berhenti ya.. dan lagi kami memutuskan untuk hujan – hujanan karena waktu juga sudah hamper malam. Alhasil kehujanan, baju basah kuyup, kedinginan. Sampai di daerah Jakarta, Astagfirulloh.. kering kerontang, gk ujan sama sekali, baju dari basah banget sampai kering lagi, jari dari pada keriting.. ckck..
Jum’at
               Hari ini kembali naik kereta lagi bareng pegawai – pegawai Sudirman yang mempesona, dan selalu berdoa “ Ya Allah.. semoga setelah lulus kuliah bias kerja disalah satu perusahaan di  Sudirman, aamiin.. “
Emang bener hari jum’at itu membawa berkah. Hari ini pokoknya seneng walaupun ujian brevetnya susah tapi Alhamdulillah lancar.. Pulangnya juga cepet gk kemaleman lagi,, yuuuhhhhuuuu *kata Faizah
Sesampainya dirumah.. Kaasssuuuurrr.. I’am Coming.. bisa tidur sepuas – puasnya.. Alhamdulillah..

Dan Hikmah yang bisa dipetik yaitu " Pengalaman adalah guru yang berharga, setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, dan anggap saja dengan pengalaman diatas ALLAH SWT sedang menempaku untuk menjadi wanita yang kuat agar mampu menggapai masa depan yang yang cerah dan pantang menyerah, aamiin .. Dan tidak ketinggalan setelah lulus kuliah nanti pengalaman seperti ini yang tidak akan terlupakan, terimakasih ALLAH SWT, Mamah, dan teman - temanku :)) "


Made in Indonesia

Diposting oleh Tri Utari di 07.56 0 komentar


Diantara maraknya persaingan pasar bebas yang sedang terjadi di Indonesia ternyata masih ada produk lokal yang mampu bertahan dan membanggakan Indonesia diantaranya yaitu :

1. Delia von Rueti Jewelry




Delia von Rueti jewelry ini dipakai oleh banyak public figure dalam maupun luar negeri. Sebut saja Ani Yudhoyono, Marie Elka Pangestu, bahkan juga ada public figure luar negeri seperti Michelle Yeoh, Sharon Stone, sampai Muhammad Al-Fayed! Tidak menyangka, ternyata pembuat perhiasan-perhiasan indah tersebut adalah seorang wanita Indonesia kelahiran Pematang Siantar bernama Delia von Rueti.  Perhiasan dari Delia von Rueti sendiri sudah menyebar dari Zurich, Geneva, New York, La Jolla dan Milan.

2. Nilou (Niluh Djelantik)

Nilou adalah sebuah brand sepatu terkenal yang pernah dipakai oleh Uma Thurman dan
supermodel Gisele Bundchen. Pembuatnya adalah seorang wanita kelahiran Kintamani bernama Niluh Djelantik. Kenyamanan dan kualias merupakan hal-hal yang sangat diperhatikan dalam semua desain sepatu Niluh.  Tak heran, produk sepatu Niluh disukai pasar mancanegara.  Sepatu Niluh kini dijual di lebih dari 20 negara, seperti Australia, Perancis, New York, dan Spanyol! Walau awalnya diberi label Nilou, saat ini Niluh kembali melabeli produknya dengan nama aslinya yakni Niluh Djelantik!





3. Sabbatha




Ya, Sabbatha, adalah produk tas tangan yang sudah sangat mendunia. Dengan materi kulit yang dipadukan dengan berbagai materi seperti batu-batuan, ukiran perak, dan lain-lain, Sabbatha benar-benar menonjolkan kekayaan alam Indonesia. Tas-tas Sabbatha sangat diminati konsumen bahkan mampu menarik perhatian sosialita dunia, seperti Katie Holmes dan supermodel Elle Mc Pherson. 
Untuk pasar mancanegara, tas Sabbatha mudah dijumpai di beberapa kota, seperti Mumbai, Hawai, Roma, Amsterdam, Milan, Cannes, Florence, Sydney, Tokyo, Moskow, dan St. Tropez.  Bangganya, produk terkenal tersebut ternyata hasil karya putra Indonesia bernama Sabbatha Rahzuardi Maya Dwianto.

4. Bagteria




Tas Bagteria yang pernah ditenteng oleh selebriti dunia seperti Paris Hilton, Emma Thompson, Anggun, dan Putri Zara Phillips ini adalah produk kreasi anak bangsa bernama Nancy Go. Produk-produknya memang berbeda dan berkelas. Harganya saja diberandol dari 1 juta rupiah hingga puluhan juta rupiah.  Walaupun tidak dijajakan di dalam negeri, kita dapat menjumpai tasnya dijajakan di sekitar 30 negara termasuk Uni Emirat Arab.

5. Petersaysdenim
Tidak hanya tas dan sepatu buatan anak bangsa yang terkenal. Produk denim karya Peter Firmansyah dari Bandung ini pun disukai bahkan dikenakan oleh para personel kelompok musik di luar negeri. Melalui brand “Petersaysdenim”, Peter memproduksi jins, topi, tas, dan kaos dengan kualitas jempolan. Sejumlah kelompok musik luar negeri seperti Of Mice & Man, We Shot The Moon, dan Before Their Eyes dari Amerika Serikat; I am Committing a Sin, dan Silverstein dari Kanada; serta Not Called Jinx dari Jerman sudah menggunakan produk-produk Peter.



Sabtu, 08 Desember 2012

Antara Pagi dan Malam Hari

Diposting oleh Tri Utari di 06.30 0 komentar

TENANGLAH hatiku, kerana langit tak pun mendengari
Tenanglah, kerana bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahsiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari te***jang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, kerana telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lazat seperti musim bunga dari syurga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau hamis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam fikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal fikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong fikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan kerana bahagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal fikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal fikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal fikiranku dengan harta benda dan barang-barang lhasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahawa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemuhan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku kerana mata mereka hanya melihat bahagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal fikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahsia-rahsianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Kerana dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak berganjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, kerana hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.


TENANGLAH hatiku, kerana langit tak pun mendengari
Tenanglah, kerana bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahsiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari te***jang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.


KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, kerana telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lazat seperti musim bunga dari syurga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau hamis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam fikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal fikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang kala aku merasa jemu terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong fikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal fikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan kerana bahagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal fikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal fikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal fikiranku dengan harta benda dan barang-barang lhasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahawa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemuhan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku kerana mata mereka hanya melihat bahagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal fikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahsia-rahsianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Kerana dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak berganjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, kerana hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.


Oleh Kahlil Gibran

 

Tri Utari Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea